Belajar kearifan dari setiap butir pengalaman
Seperti apakah bentuk neraka? Seorang samurai menanyakan itu pada seorang biksu. Sang biksu menggeleng dengan ketus. Sang samurai lalu mencabut pedang dengan penuh kemarahan. Dengan wajah memerah –karena dipenuhi kemarahan–, ia siap memenggal kepala sang biksu. Namun sang biksu segera menjawab, “Inilah yang disebut neraka. Ketika kamu diliputi kemarahan. Ketika kamu marah, kecewa, dan tersinggung.” Sang Samurai lalu tersadar. Ia tersentuh dengan penjelasan itu. Ia lalu meminta maaf dengan mata berlinang. Sang biksu lalu menjawab, “Kamu sedang mengalami surga. Jagalah perasaanmu hari demi hari. Itulah surga.”
Kisah di atas adalah penggalan kisah yang saya temukan dari buku karya Ajahn Brahm berjudul Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya 2. Buku ini adalah buku yang berisikan 108 kisah-kisah inspirasi yang membuka pintu hati, membuka pintu kesadaran tentang pentingnya kehidupan serta mensyukuri semua yang dialami. Sebagaimana buku pertama, buku ini sangat inspiratif dalam hal memetik hikmah dari semua pengalaman sehari-hari. Penulisnya adalah seorang biksu pembelajar yang mencatat semua pengalaman ke dalam kisah-kisah bijak, kemudian membaginya kepada orang lain melalui kalimat-kalimat sederhana.
Saya banyak membaca buku-buku bertemakan spiritualitas untuk manusia modern. Akan tetapi, saya mencatat buku ini sebagai salah satu buku spiritualitas terbaik dalam hal bisa menjelaskan hikmah-hikmah dari hal-hal sepele yang dialami sehari-hari. Anda tak perlu menjadi seorang siswa di sebuah sekolah agama demi menjadi seorang spiritualis. Anda cukup merenungi pengalaman yang dilalui, lalu belajar dari pengalaman itu setahap demi setahap, lalu mengabadikannya melalui hikmah yang dituturkan kepada banyak orang. Anda juga tak perlu banyak mempelajari kearifan dari masa silam untuk masa kini. Sebab dengan merefleksi ‘bahan mentah’ dari pengalaman dan kejadian di sekitar, kita bisa melahirkan pemikiran yang jernih dan bening sebagai cermin yang membuat kita berkaca dan tersadar tentang diri kita sendiri.
Usai membaca buku ini, saya disadarkan bahwa spiritualitas bukan terletak dari seberapa sering seseorang menjalankan suatu ritual. Spiritualitas adalah upaya untuk belajar terus-menerus dari setiap pengalaman demi menjadi seorang individu yang berkualitas. Batasan kualitas di sini adalah ketika kita hidup bersama masyarakat, diterima banyak orang, serta bisa memberikan jalan keluar yang sederhana dari pengalaman sehari-hari. Spiritualitas adalah keinginan kuat untuk menjadi orang baik yang bisa berbuat sesuatu di sekitar. Bisa menjadi cahaya lilin yang menerangi kegelapan. Bisa mengolah debu pengalaman menjadi butiran berlian yang tak ternilai.
Ajahn Brahm –penulis buku ini—adalah seorang biksu asal Inggris. Ia alumni Cambridge University yang kemudian memilih tinggal di hutan Thailand untuk belajar kearifan. Mungkin, sebagai biksu hutan, ia banyak belajar dari pengalaman warga desa,sehingga gaya bahasanya menjadi sederhana dan tidak berliku-liku. Pilihan gaya bahasa seperti ini membuat kalimat jadi fleksibel dan samat mudah dipahami. Anda tak perlu berkerut kening ketika membacanya. Cukup membaca sambil lalu, dan bersiaplah untuk tersentak ketika menemukan indahnya perenungan dari hal-hal sederhana yang kita alami. Saya mencatat ada beberapa hal penting yang bisa ditemukan dari buku ini.
Pertama, kisah yang dituturkan di buku ini kebanyakan adalah pengalaman sendiri. Bukan kutipan kisah-kisah masa silam atau rujukan dari kitab-kitab suci. Saya menyenangi kutipan kitab suci berbagai agama, namun seringkali kutipan itu menjadi ahistoris atau tidak sesuai ruang dan waktu. Ketika mengutip kisah dari kitab suci, maka kisah-kisah itu menjadi ahistoris atau berjarak dari pengalaman kita sehari-hari. Dengan mengangkat pengalaman sehari-hari, maka kisahnya jadi sangat dekat dengan keseharian. Kalaupun ia mengangkat kisah sebagaimana kisah samurai di atas, maka itu ditempuh demi menyampaikan sesuatu. Inilah yang menjadi salah satu kelebihan buku ini.
Kedua, gaya bahasanya ringan dan renyah. Kita tak perlu berkerut kening untuk memahami apa yang hendak disampaikannya. Buku ini bisa dibaca sembari bersantai ria, namun tetap serius saat menemukan butiran-butiran makna. Kisahnya juga tidak menggurui sebab mengangkat hal sehari-hari yang kita temui. Penulisnya memosisikan diri sebagai orang biasa yang mengalami hal-hal sehari-hari sebagaimana orang lain. Namun, di tengah hal yang remeh-temeh itu, penulisnya sanggup menemukan hikmah-hikmah yang dipetik dari pengalaman sehari-hari.
Ketiga, meskipun di tulis seorang biksu, namun kisah yang disajikan di sini menyimpan makna yang sifatnya universal. Saya tidak tahu apakah ini memang intisari ajaran Buddha, namun saya lebih suka menyebutnya kearifan yang ditemukan dari ceceran pengalaman. Saya terkagum-kagum dengan caranya mendekati persoalan dengan cara yang sederhana, namun amat menyentuh. Saat membacanya, saya beberapa kali mengucapkan “Wow…. kenapa saya gak memikirkan seperti ini yaa”.
Hal yang luar biasa dari Ajahn Brahm adalah kemampuan untuk meredam segala kesedihan, nestapa, ataupun derita. Ia tidak hendak memusuhi kesedihan, sebab kesedihan adalah bagian dari pengalaman sehari-hari. Kesedihan dihadapi sebagaimana menghadapi kesenangan. Dengan cara memahami kesedihan, seseorang akan sanggup masuk ke jantung kesedihan itu sendiri demi memahami kesedihan tersebut, lalu berdamai, kemudian mentransformasinya menjadi kebahagiaan. Siapapun yang bisa berdamai dengan kesedihan tidak akan menjauhi kesedihan. Dengan cara mengubah mindset atau cara pandang, kesedihan tidak lagi menjadi kesedihan, namun akan menjelma sebagai kupu-kupu kebahagiaan.
No comments:
Post a Comment